
Postingan kali ini akan membahas seputar tips pulang atau masuk ke wilayah negara kesatuan Republik Indonesia saat musim pandemi.
Beberapa catatan seputar jalan-jalan (travelling)
Postingan kali ini akan membahas seputar tips pulang atau masuk ke wilayah negara kesatuan Republik Indonesia saat musim pandemi.
Dalam penjelajaha Eropa, terutama ke negeri kincir angin (Belanda), dan tinggal di sana selama kurang lebih 20 hari, ada beberapa hal yang menarik menjadi sebuah sarana perenungan dan pembelajaran. Terutama saat saya berbelanja di sebuah supermarket untuk membeli beberapa kebutuhan untuk keperluan makan sehari-hari. Saya hampir tidak menemukan penghalang dalam bahasa, karena ternyata beberapa nama produk diantaranya dapat dengan mudah dibaca walaupun itu menggunakan ejaan lama yang belum disempurnakan.
Continue reading “Catatan penjelajahan Eropa (Bagian 5): Bahasa“
Menurut sebuah brosur yang saya dapatkan di awal tahun 2017, ada 25 tempat wisata yang dapat dikunjungi di Kitakyushu. Tetapi saat ini, dari daftar lokasi wisata tersebut, satu diantaranya akhirnya tutup, sehingga menyisakan 24 lokasi wisata. Lokasi yang ditutup tersebut adalah “Space World”. Lokasi yang belum pernah saya sempat kunjungi, tetapi sudah tutup duluan.
Dari 24 lokasi tersebut, kalau dipetakan dalam google maka petanya sebagai berikut.
Dari 24 lokasi tersebut, tentu ada yang gratis dan ada pula yang berbayar. Beberapa tempat yang pernah saya kunjungi, harga tiket masuk biasanya bergantung pada usia. Untuk dewasa tidak sampai 1000 yen. Paling mahal sekitar 800 yen. Untuk anak, jika usianya masih di bawah 4 tahun, beberapa diantaranya gratis, seperti Itozunomori park.
DENCHA. Begitulah kereta ini dinamakan. Bagi mereka yang pernah tinggal di Kitakyushu atau mengunjungi Kitakyushu, setidaknya di sepanjang jalur Wakamatsu – Nogata tidak akan merasa asing dengan kereta yang hanya dua gerbong ini, karena memang trayeknya di sana. Pernah sesekali kereta ini menjadi 4 gerbong saat ada festival di jembatan yang menghubungkan Wakamatsu dan Tobata (wakato bridge).
Awalnya saya kira nama “dencha” ini hanya plesetan romaji dari 電車 (baca: densha) yang berarti kereta listrik. Tetapi ternyata dencha adalah sebuah singkatan dari “Dual ENergy CHArge train” atau dalam bahasa bebasnya bisa diterjemahkan sebagai kereta yang menggunakan dua sumber energi. Pertanyaannya dari mana sumber energinya? Ini yang menarik.
Awalnya saya mengira bahwa sumber energinya dari batere sesuai dengan gambar yang tertera di badan kereta. Dan ternyata benar. Memang sumber energinya dari baterai. Dan kalau menggunakan batere, berarti berbicara tentang pengisian batre atau charging. Tetapi belakangan ini ada hal yang menarik saat sedang berkereta dan memandangi salah satu layar. Ternyata metode pengisian batrenya tidak hanya dilakukan di depotnya, tetapi juga dari pengereman. Jadi saat si kereta akan berhenti di setiap stasiun, saat itulah proses penyimpanan energi terjadi. Itulah keterangan yang tertera di layar dalam salah satu gerbong dencha.
Bagaimana bisa dari pengereman kok bisa jadi listrik dan disimpan?
Dugaan sementara saya, dencha ini menggunakan thermoelectric generator yang mampu mengubah energi panas yang ditimbulkan dari proses pengereman menjadi energi listrik lalu menyimpannya. Bagaimana proses penyimpanannya? Berapa besar efisiensinya? Nah itu yang saya belum tau. Hehehe…
Ataukah menggunakan regenerative braking yang mengubah energi gerak menjadi energi listrik melalui motor listrik yang dioperasikan sebagai generator kemudian energi listrik tersebut untuk mengisi baterai?
Tapi setidaknya dencha ini menarik, karena kereta ini menjadikan lingkungannya bebas polusi dan memiliki nilai plus pada pemanfaatan energi. Itulah mengapa Kitakyushu menjadi kota dengan indeks kualitas udara yang bagus.
Semoga suatu saat nanti teknologi seperti ini bisa dikembangkan dan dimanfaatkan di Indonesia.
Satu hal yang tidak disangka adalah perjumpaan kembali dengan teman-teman lama yang dulu pernah menghiasi kehidupan kita. Perjumpaan yang tidak direncana itu terkadang menghadirkan perasaan emosional tersendiri, terlebih jika waktu telah mengubah banyak hal. Setidaknya itulah yang saya alami saat menjelajah Eropa. Pada awalnya nggak ngeh kalau ada teman di sana. Karena rentang waktu yang lama menjadi pemisah, pikiran kita pun kadang dipenuhi hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan kita dalam beberapa waktu terakhir, seperti pekerjaan, keluarga, dan lain-lain.
Continue reading “Catatan penjelajahan Eropa (Bagian 4): silaturahim“